Perkembangan Agama Buddha di Indonesia
Pada Kerajaan Sriwijaya dan Kalijaga
Pada akhir abad ke-7, seorang bhiksu yang berasal dari Dinasti Tang
di China yang bernama I-Tsing (635-713) mencatat dengan lengkap mengenai
Agama Buddha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ia melakukan perjalanan
ke India pada tahun 672 dan singgah ke Sriwijaya, Sumatera, pada tahun
685.
I-Tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai
bhiksu di India dan Sumatera. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap
tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan
peraturan vinaya.
Bila dibandingkan catatan Fa Hsien tahun 414 dengan
catatan I-Tsing, dapat diambil kesimpulan bahwa Agama Buddha di pulau
Jawa dan Sumatera telah dibangun dengan sangat cepat. Pekerjaan I-Tsing
selain menulis catatan seperti dikemukakan di atas, ia juga menulis
buku tentang perjalanan seorang guru agama asal China bernama Hwui Ning
yang datang ke Kerajaan Kalingga (Ho-Ling) di Jawa.
Dalam bukunya dikatakan bahwa bhiksu asli Jawa dan
Sumatera merupakan sarjana bahasa Sanskerta yang sangat bagus. Salah
satunya adalah Jnanabhadra yang merupakan orang Jawa asli asal Kerajaan
Kalingga yang bertindak sebagai guru bagi para bhiksu China, termasuk
Hwui Ning, dan membantu menerjemahkan sutra ke dalam bahasa China.
I-Tsing juga menceritakan bahwa beberapa naskah yang
diterjemahkan oleh Hwui Ning adalah mengenai mangkatnya (parinibbana)
Sang Buddha. Namun, ia mengatakan bahwa naskah tersebut berbeda dengan
naskah yang biasa digunakan dalam Mahayana. Dari uraian tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa Agama Buddha yang dianut oleh mayoritas masyarakat
nusantara pada waktu itu adalah non-Mahayana meskipun bahasa yang digunakan
adalah bahasa Sanskerta. Namun di Melayu juga terdapat sedikit masyarakat
yang mengadopsi Mahayana.
Pada awal abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat
Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibuat tahun 775,
ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu
raja Sriwijaya dari keturunan Sailendra - yang tidak cuma memerintah
di selatan Sumatera tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu -
memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan
kepada Buddha, Bodhisattva Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat
lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani Buddha;
yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari berita I-Tsing dan beberapa prasasti tersebut,
selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu, Kerajaan
Sriwijaya merupakan kerajaan yang termasyur karena merupakan pusat ilmu
dan kebudayaan Buddhis. Di sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh
ribuan bhikkhu. Di Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya, selain
kuliah-kuliah tentang Agama Buddha, orang dapat mengikuti juga kuliah-kuliah
tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga
Agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar
di Perguruan Tinggi tersebut dan menyebarkan aliran Mahayana. Kerajaan
Sriwijaya sendiri didirikan pada lebih kurang pada abad ke-7 dan dapat
bertahan terus hingga tahun 1377.
Kemudian, seiring dengan pergantian waktu, agaknya
Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar di bumi Sriwijaya.
Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang
yang menyebutkan bahwa “daputa hyang” (barangkali berarti
perdana menteri) berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib (kesaktian)
guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya.
Dari ungkapan-ungkapan yang digunakan tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa upacara ini adalah upacara Indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran
Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang
berpengaruh pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh
Tantra (Vajrayana), yang di India mempengaruhi Agama Buddha sejak pertengahan
abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian
bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan kondisi tertinggi adalah
Vajra Sarira atau Tubuh Intan, yang mengingatkan kita kepada ajaran
Vajrayana.
Dari uraian di atas dapat dikataan bahwa pada tahap
permulaan masih ada hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Namun,
hubungan ini agaknya makin lama makin berkurang.
Sumber : http://bhagavant.com/home.php?link=sejarah&tipe=sejarah_buddhisme_Indonesia_2